Harta Haram (oleh : Uti Konsen UM - APPost)
Rasulullah SAW bersabda, “Perbaikilah makananmu (makanlah makanan yang halal) niscaya engkau akan menjadi orang yang selalu dikabulkan doanya“ ( HR.At-Thabrani) . Wahab bin Munabbih bercerita. Satu waktu Nabi Musa AS bertemu dengan seorang laki-laki yang sedang berdoa. Dia berdiri lama sekali dengan khusyuknya. Seraya memperhatikan lelaki tersebut Nabi Musa berkata, “Ya Rabbi, mengapa tidak Kau jawab juga doanya?“. ”Wahai Musa, seandainya orang itu menangis sejadi-jadinya dan mengangkat kedua tangannya sampai ke permukaan langit, doanya tetap takkan sampai kepada-Ku,“ firman Tuhan.”Mengapa gerangan ya Allah?“ tanya Musa. ”Karena di perutnya ada barang haram. Di punggungnya ada barang haram. Dan di rumahnya pun tersimpan barang haram,” tegas Allah SWT.
Pada zaman Rasulullah dulu pernah sekelompok orang datang kepada Nabi mengadukan gubernur mereka yang suka menerima sumbangan. Setelah diseleksi dengan cermat dan ternyata pengaduan itu benar, Nabi pun memanggil gubernur itu. “Mengapa Anda menerima sesuatu yang bukan menjadi hak Anda?“ tanya Rasul. “Wahai Nabi Allah. Yang saya ambil itu tidak lain adalah hadiah yang memang diberikan orang kepada saya,“ ujar gubernur berdalih. “Yakinkah tuan
akan semua itu? Andaikata Anda berdiam di rumah saja, tidak menjabat apapun, apakah orang akan mengantarkan hadiah itu juga?” tanya Nabi tegas. Kemudian beliau menyuruh gubernur menyerahkan harta itu ke baitul mal dan kemudian beliau memecatnya. Sikap yang dilakukan gubernur itu dalam bahasa agama disebut zulm, termasuk dosa besar. Kata zulm adalah lawan kata nur yang berarti cahaya. Lewat Al Quran Allah berkata bahwa Dia membawa (manusia) dari kegelapan ke terang benderang. Min al-zulumati ila al-nur. Sedang setan sebaliknya, membawa dari terang ke gelap. Jadi menggelapkan itu pekerjaan setan. Dan mereka yang membantu penggelapan adalah pembantu setan.
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang kami beri tugas melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami beri rezeki (diberi imbalan berupa gaji atau lainnya ), maka apa yang diambil oleh selain itu adalah kecurangan.“ Dalam hadis lain Rasulullah menyatakan “Demi Zat yang jiwaku berada dalam genggamannya tidak sekali-kali seseorang mengambil harta dengan cara yang tidak dibenarkan, kecuali ia akan bertemu dengan Allah pada hari kiamat kelak dalam kondisi sedang memikul apa yang telah diambilnya dahulu.“ Maka, ujar Fuad Nasar dalam tulisannya ‘Meninggalkan yang syubhat “, marilah kita berhati-hati menjaga kehormatan diri dan kebersihan rezeki dengan meninggalkan yang syubhat dan haram. Dalam Islam, niat dan tujuan yang baik tidak dapat mengubah yang haram menjadi halal ataupun menghilangkan unsur syubhat. “Betul sekilas orang yang kaya dengan harta haram tampak hidup enak. Tapi, kalau Anda tahu bagaimana perasaan hatinya, keresahan jiwanya dan rasa tak nyaman batinnya ketika dia masih hidup, sungguh tak sepadan dengan kenikmatan yang diterima dari harta haram itu. Saat ini, di zaman reformasi banyak sekali penguasa dan pengusaha yang dihujat rakyat karena menimbun harta haram. Mereka dicaci maki dan dicerca. Betapa malangnya!“ demikian antara lain tulis Saifuddin Simon dalam naskahnya ‘ Harta Haram’.
Para salafus saleh sangat berhati-hati terhadap makanan yang masuk ke mulut dan perut mereka. Abu Bakar mempunyai pembantu yang selalu menyediakan makanan untuknya. Suatu kali pembantu tersebut membawa makanan, ia pun memakannya. Setelah tahu bahwa makanan itu diperoleh dengan cara haram, serta merta ia masukkan jari tangannya ke kerongkongan. Kemudian ia muntahkan kembali makanan yang baru saja masuk itu. “Berapa banyak doa yang telah kita panjatkan kepada Allah SWT, berapa banyak istighotsah digelar. Namun, kenyataannya bencana demi bencana tetap melanda, berbagai krisis tidak teratasi dan berbagai kesulitan tak kunjung usai. Mungkinkah ini karena bangsa Indonesia sudah terbiasa dengan praktik-praktik mendapatkan harta dengan cara yang haram, sehingga Allah SWT.tidak mengabulkan doa kita?“ tanya Ummu Fathin dalam tulisannya ‘ Makanan Haram ‘.
Wallahu a’lam bis-shawab. **
0 comments:
Posting Komentar