What is your dream?

Larangan bercadar kini mulai diterapkan di kampus AS, menyulut pertanyaan dari kaum Muslim, dan menuntut dilakukannya penyelidikan. (SuaraMedia News)
BOSTON (SuaraMedia News) – Sebuah kelompok pembela HAM Muslim meminta Komisi Kesempatan Kerja Setara untuk menyelidiki sebuah sekolah tinggi Massachusetts yang melarang pelajarnya mengenakan penutup kepala yang menyembunyikan wajahnya.

Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR) mengatakan bahwa meskipun kebijakan Sekolah Tinggi Farmasi dan Ilmu Kesehatan Massachusetts (STFIK) ditujukan kepada para pelajar, itu akan memberikan dampak yang tidak seimbang terhadap hak relijius dari karyawan Muslim.

Kebijakan itu melarang para pelajar mengenakan pakaian seperti burka dan penutup wajah, juga masker ski dan jilbab.

Surat dari CAIR mengatakan bahwa pihak sekolah harus memberikan pengecualian relijius dalam kebijakan tersebut karena mereka memberikan pengecualian secara medis.

Pihak sekolah menolak memberikan komentar dan mengatakan bahwa kebijakan itu adalah tentang keselamatan.

Kebijakan STFIK Massachusetts untuk melarang pemakaian cadar memicu protes dari kelompok-kelompok pembela hak sipil Muslim maupun non-Muslim, menyebutnya sebagai sebuah langkah ilegal yang membahayakan hak asasi dan mentarget kebebasan relijius kaum Muslim.

“Ini kebijakan yang sangat aneh,” ujar Ibrahim Hooper, juru bicara CAIR Washington, kepada Boston Globe pada hari Rabu, 6 Januari.

“Saya tidak tahu darimana datangnya kebijakan itu. Satu-satunya yang dapat kami simpulkan adalah bahwa kebijakan tersebut didesain untuk secara spesifik mentarget kaum Muslim.”

Pihak kampus sendiri mengatakan bahwa peraturan yang mulai berlaku efektif pada tanggal 1 Januari itu didesain untuk mempromosikan keselamatan dan diterapkan setelah menjalani penilaian periodik kebijakan keselamatan publik di sekolah swasta tersebut.

“Ini adalah prosedur lain yang ingin diimplementasikan pihak keselamatan publik kampus untuk menjaga agar kampus tetap aman,” ujar Michael Ratty, juru bicara sekolah tinggi yang memiliki beberapa kampus di Boston, Worcester, dan Manchester itu.

“Kebijakan ini tidak ditujukan ke individu atau kelompok tertentu, tapi diaplikasikan ke semua pelajar dan fakultas.”

Namun kaum Muslim menyebut langkah tersebut sebagai satu bentuk diskriminasi bagi Muslim yang meyakini bahwa mereka harus menutupi wajahnya.

“Saya rasa mereka memiliki dua pelajar wanita Muslim yang mengenakan penutup wajah, itu membuat mereka merasa tidak nyaman dan mereka harus melakukan sesuatu tentang itu,” ujar Hooper.

Bahkan aktivis keamanan seperti Jonathan Kassa, direktur eksekutif Security on Campus, sebuah lembaga nirlaba yang mengadvokasi kampus-kampus AS agar menjadi lebih aman, tidak sepakat dengan peraturan itu, yang mereka khawatirkan mengorbankan hak asasi demi keamanan.

Kebanyakan cendekiawan Muslim berpendapat bahwa seorang wanita tidak wajib menutupi wajahnya namun meyakini bahwa itu terserah sang wanita untuk memutuskan akan memakainya atau tidak.

Kelompok-kelompok dan aktivis kampus pembela kebebasan sipil juga menentang keputusan sekolah itu, menyebutnya sebagai pelanggaran terhadap kebebasan relijius seperti yang tercantum dalam konstitusi AS.

“Kebijakan itu membingungkan dan mungkin ilegal,” ujar Sarah Wunsch, staf pengacara di Massachusetts American Civil Liberties Union (ACLU).

Hooper mengatakan bahwa ia belum pernah mendengar tentang kebijakan serupa yang diterapkan di kampus-kampus AS. (rin/mh/io) www.suaramedia.com

http://www.suaramedia.com/berita-dunia/ ... us-as.html

free counters