Bagai rombongan malaikat pencabut nyawa, 27 Desember 2008, Israel melakukan serangan udara atas wilayah Palestina dengan bom-bom maut yang dahsyat dan mematikan.
Serangan udara itu disusul serbuan darat. Ratusan nyawa melayang, ribuan orang terluka, puluhan bangunan luluh lantak. Bahkan, tempat-tempat ibadah pun menjadi sasaran. Sungguh tak berperikemanusian.
Atas kekejaman itu, sudah selayaknya warga masyarakat di Jakarta dan berbagai kota di dunia berunjuk rasa mengecam Israel. Sudah selayaknya pula rakyat di mana-mana menunjukkan solidaritas tinggi terhadap warga Palestina, khususnya mereka yang telah menjadi korban brutalitas mesin-mesin perang Israel.
Pertanyaannya, siapa yang telah menjadi korban brutalitas mesin perang Israel? Boleh percaya boleh tidak, yang telah menjadi korban ternyata adalah semua penduduk Palestina—khususnya mereka yang tinggal di Jalur Gaza—apa pun status sosialnya, apa pun agamanya. Baik warga sipil maupun personel militer, baik anggota kelompok Hamas maupun bukan, semua menjadi korban. Dari segi agama, kebanyakan korban adalah warga Muslim, tetapi tak sedikit warga Kristen yang juga menjadi korban. Sebagaimana kita tahu, banyak orang Palestina memeluk agama Kristen, dan mereka sama-sama menjadi korban kekejaman mesin perang Israel yang dimaksudkan untuk menghancurkan kelompok Hamas.
Tak keberatan
Dari sejarah Palestina kita ingat, generasi demi generasi mayoritas warga Palestina Muslim dan penduduk Palestina Kristen hidup berdampingan secara damai. Mereka mencintai tanah air yang sama, mereka memiliki cita-cita nasional yang sama pula. Keduanya sama-sama memimpikan kehidupan yang aman dan damai sebagai bangsa yang majemuk. Di tengah kejinya penindasan Israel, mereka sama-sama berjuang demi tanah air Palestina yang merdeka, yang adil dan makmur, yang terhormat di antara bangsa-bangsa lain di dunia.
Kita juga ingat, sejumlah orang Kristen Palestina telah menjadi figur-figur yang berdiri di garis depan perjuangan rakyat Palestina, entah itu di ranah politik, sosial, maupun budaya. Sebut saja, misalnya, Emil Habibi, George Habash, Azmi Bishara, dan Hanan Ashrawi yang adalah tokoh-tokoh penting dalam politik Palestina; Elia Suleiman dan Nay Abu-Assad, produser film terkemuka; Raja Shehadeh, penulis dan pakar hukum; atau Raymonda Tawil, aktivis politik yang notabene adalah ibu mertua almarhum Yasser Arafat. Dan, tentu saja Edward Said, intelektual dan aktivis politik Kristen keturunan Palestina yang mati-matian membela Palestina di dunia internasional. Bagi warga Palestina, dalam memandang satu sama lain, tampaknya yang utama bukan apa agama seseorang, tetapi sejauh mana komitmen orang itu bagi perjuangan bersama demi masa depan Palestina.
Ironisnya, justru karena banyak orang Kristen ada di garis depan perjuangan rakyat Palestina itulah Pemerintah Israel sejak 1948 berusaha keras agar orang-orang Kristen ini hengkang dari bumi Palestina dan bermukim di luar negeri saja. Israel sadar, orang-orang Kristen memiliki potensi besar menjadi penghubung perjuangan Palestina dengan dunia luar (ingat, seorang pembela Palestina yang paling konsisten di panggung internasional adalah mendiang Paus Yohanes Paulus II). Karena itu, diam-diam pemerintah negara itu giat mendorong warga Kristen ini meninggalkan Palestina. Para pemimpin Israel tak keberatan jika dalam serangan kali ini banyak warga Kristen Palestina juga menjadi korban operasi militernya.
Setiap orang
Mengingat yang menjadi korban adalah semua pihak, tentu akan aneh bila yang melakukan unjuk rasa mengecam Israel terkait serangan atas Jalur Gaza saat ini hanya warga dari agama tertentu.
Pertama, karena yang menjadi korban bukan hanya warga Palestina dari satu agama. Baik Islam maupun Kristen Palestina, semua menjadi korban Israel.
Kedua, jelas sekali serbuan militer Israel bukan serbuan dengan motivasi agama, tetapi serbuan dengan motivasi politik dan kesewenang-wenangan kekuasaan.
Sadar akan situasi demikian, seharusnya yang terusik oleh kekejaman Israel bukan hanya warga dari satu agama, tetapi juga dari semua agama, karena semua agama mengajarkan kebajikan dan melawan kejahatan. Bahkan, yang merasa terusik seharusnya bukan hanya yang mendasarkan diri pada keyakinan agama, tetapi juga setiap orang yang masih memiliki rasa hormat pada nilai-nilai kemanusiaan. Kematian satu manusia Palestina akibat mesin perang dan kesewenang-wenangan kekuasaan adalah kematian semua orang yang menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan. Sudah selayaknya setiap orang—apa pun status sosialnya, apa pun agamanya—tergerak untuk turut mengecam Israel dan mencari jalan keluar terhadap kemelut yang berlangsung sekarang ini.
Perlu waspada
Terkait upaya mencari jalan keluar itu, kiranya dua catatan perlu ditambahkan.
Pertama, selain dorongan untuk terlibat secara fisik dan militer, perlu pula dimaksimalkan upaya-upaya diplomatik guna mencari solusi yang tepat dan berkesinambungan. Republik Indonesia sebagai salah satu kekuatan terbesar di Asia dan memiliki kedekatan emosional dengan Palestina, hendaknya merasa terdorong untuk menjadi penengah bagi kedua pihak yang kini sedang bertikai. Tak kalah penting bagi Indonesia adalah mengupayakan bantuan kemanusiaan semaksimal mungkin, dalam koordinasi dengan negara-negara lain atau lembaga-lembaga kemanusiaan internasional.
Kedua, hendaknya setiap upaya mencari jalan keluar atas konflik Hamas-Israel lahir dari kehendak murni untuk menyelesaikan masalah di Palestina dan bukan niat untuk mengaduk emosi masyarakat sambil mencari keuntungan politik di dalam negeri menjelang pemilu. Sebagaimana ditekankan oleh Ketua Tanfidziyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur (PWNU Jatim) KH Mutawakkil Alallah belum lama ini, kita perlu waspada terhadap keinginan untuk menjadikan momentum konflik Hamas-Israel sebagai kesempatan untuk mencari kepentingan sendiri dengan mengorbankan kepentingan bangsa (Kompas, 4/1/2009). Dengan kata lain, jangan sampai hanya demi keuntungan politik sesaat, apa yang kita lakukan di sini tidak hanya tidak turut menyelesaikan masalah di Palestina, tetapi justru menimbulkan polarisasi dan konflik berkepanjangan di antara kita sendiri.
Baskara T Wardaya SJ Direktur PUSdEP (Pusat Sejarah dan Etika Politik) Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Sumber: Kompas
0 comments:
Posting Komentar